Jumat, 30 Mei 2014

Posted by Unknown
No comments | 01.26
Perang Dayak Desa
Syarif Muhammad Alkadri (Sultan Pontianak; duduk, kanan) dibunuh oleh pihak Jepang sehingga menyebabkan terjadinya Peristiwa Mandor. Ini merupakan salah satu sebab terjadinya Perang Dayak Desa
 
Perang Dayak Desa terjadi pada 1944-1945 untuk membalas dendam pihak Jepang yang kejam terhadap mereka. Pada masa awal perang, para pemuka adat Dayak mengumpulkan kaum-kaum mereka di Sekadau, dengan salah satu caranya adalah dengan Mangkok Merah. Sesudahnya, rakyat dikumpulkan untuk bermusyawarah bersiasat untuk mengalahkan Jepang. Perang Dayak Desa berakhir degan kemenangan di tangan Suku Dayak setelah pemuka adat betul-betul tertekan setelah kematian panglima perang. Kemenangan dicapai melalui konsolidasai dan bersatunya Kesultanan Sintang dengan Suku Dayak. Lambatnya kemenangan Suku Dayak ini dikarenakan lambatnya proklamasi ke pedalaman Dayak, dan persatuan yang hampir hilang.

Peristiwa PARAKU/PGRS

Tentara Nasional Indonesia memperoleh bantuan dari masyarakat Dayak dalam peristiwa pemberantasan pasukan komunis di Kalimantan pada tahun 1967an.Peristiwa tersebut juga dianggap sebagai tragedi pembunuhan dan pengusiran ribuan warga etnis Tionghoa di Kalimantan Barat pada akhir 1967. Soemadi, salah satu mantan gubernur Kalimantan Barat dan mantan Pangdam XII/Tanjungpura dalam bukunya yang terkenal, Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara terbitan Yayasan Tanjungpura menyebut bahwa praktek Ngayau dan Mangkok Merah menjadi salah satu kebanggaan tersendiri bagi Pangdam dalam penumpasan Paraku/PGRS dan mesti diberi penghargaan dari Pangdam. Para pelaku Pengayauan ini kemudian dibawa ke Jakarta pada tahun 1972 untuk menemui Soeharto, Presiden Republik Indonesia yang kedua. Praktek Ngayau ini dihidupkan lagi setelah Indonesia merdeka oleh TNI. Di antara tokoh-tokoh Ngayau diberi penghargaan dengan pangkat militer Pembantu Letnan Satu Tituler. Para pemuka adat Dayak ini bertemu dengan Presiden Soeharto pada November 1972 dan diberi tunjangan seumur hidup. Di antaranya, ada Aziz, Jimbau, Burung, Nayau, Dangih, dan Sinau.

Konflik Sampit

Ritual mangkuk merah terjadi dalam pertikaian antara etnis Dayak dengan suku Madura di Kota Sampit sepanjang tahun 2001. Konflik Sampit tahun 2001 diawali beberapa insiden antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001, salah satunya mengklaim bahwa peristiwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.
Posted by Unknown
No comments | 01.20
Mangkok Merah merupakan sebuah tradisi dalam adat Dayak yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar sesama rumpun Dayak serta sebagai penghubung dengan roh nenek moyang. Hanya Panglima Adat yang berwenang untuk memanggil dan berhubungan dengan para roh suci atau dewa.
Pada mulanya adat ini bernama Mangkok Jaranang karena menggunakan mangkok yang diwarnai dengan jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwarna merah dan digunakan sebagai pewarna sebelum masyarakat Dayak mengenal cat. Akar jaranang yang berwarna merah dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam sehingga kini dikenal dengan nama Mangkok Merah. Adat ini dilangsungkan apabila pada suatu kasus, misalnya parakng (bunuh) atau pelecehan seksual, pihak pelaku tidak bersedia menyelesaikan secara adat. Pihak ahli waris korban yang merasa terhina akan bersepakat, dan mungkin berakhir dengan melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut Mangkok Merah.
Mangkok Merah hanya digunakan jika benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan.

Latar belakang terjadinya adat mangkok merah adalah jika suatu pelaku pelanggaran tidak bersedia menyelesaikan kesalahannya secara adat sehingga dianggap menghina dan melecahkan harkat dan martabat ahli waris korban. Akibatnya, ahli waris yang mengetahui akan mengadakan upaya pembalasan dengan mengumpulkan semua ahli waris korban melalui adat mangkok merah. Dalam peristiwa pembunuhan, apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat, pihak ahli waris korban segera menyikapinya dengan upaya pembelasan. Karena pelaku dianggap telah menentang adat, ia dianggap pantas untuk dihajar seperti binatang yang tidak beradat.
Gerakan mangkok merah menjadi tanggung jawab ahli waris korban dan hanya mereka yang berhak memimpin gerakan. Menurut masyarakat Dayak Kanayatn, keturunan ahli waris samdiatn digambarkan menurut garis lurus berikut:
  1. Saudara Sekandung (tatak pusat) disebut samadiatn.
  2. Sepupu satu kali (sakadiritan) di sebut kamar kapala.
  3. Sepupu dua kali (dua madi’ ene’) di sebut waris.
  4. Sepupu tiga kali (dua madi’ ene’ saket) di sebut waris.
  5. Sepupu empat kali (saket) di sebut waris.
  6. Sepupu lima kali (duduk dantar) di sebut waris.
  7. Sepupu enam kali (dantar) di sebut waris.
  8. Sepupu tujuh kali (dantar page) di sebut waris.
  9. Sepupu delepan kali (page) masih tergolong waris.
  10. Sepupu sembilan kali (dah baurangan) tidak tergolong waris.
Pelaksanaan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah seluruh jajaran ahli waris korban yang dipimpin oleh dua madi’ ene’ sebagai kepala waris. Apabila pasukan telah berangkat menuju sasaran, hampir tidak ada alternatif lain untuk pencegahan kecuali dengan upaya adat pamabakng.

Posted by Unknown
No comments | 01.09
Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.

Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima tertinggi masyarakat Dayak, Panglima Burung, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun sahabat anehdidunia.blogspot.com rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.


http://anehdidunia.blogspot.com

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati. http://anehdidunia.blogspot.com

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

http://anehdidunia.blogspot.com

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka. http://anehdidunia.blogspot.com

http://anehdidunia.blogspot.com

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.

Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Sahabat anehdidunia.blogspot.com mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.

Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.

Amun ikam kada maulah sual awan ulun, ulun gen kada handak jua bahual lawan pian malah ulun maangkat dingsanak awan pian, begitu yang diucapkan orang Kalimantan khususnya orang Banjar untuk menggambarkan sikap dari orang-orang Dayak.
Posted by Unknown
No comments | 01.01

Berikut ini tokoh-tokoh Dayak yang terkenal:

Tokoh Masa Silam

Tokoh Pergerakan Borneo

  • J.C. Oevaang Oeray, Pendiri Partai Persatuan Dayak & Gubernur Kal-Bar Pertama
  • FC FalaoenSoeka, Tokoh politisi Partai persatuan Dayak dan Tokoh Pendiri harian kompas
  • G.P. Jaung, Tokoh Politisi Partai Persatuan Dayak
  • Jeranding Abdurahman, Politisi Partai Persatuan Dayak
  • Cilik Riwut, Pahlawan Nasional Indonesia & mantan Gubernur Kalteng
  • Hausman Baboe, Tokoh Pendiri Kalteng, tokoh Pers Kalteng & pendiri harian "suara Dayak" koran Indonesia Pertama

Tokoh Masa Kini

 Politikus/Pejabat/advokad

Penulis Dan Sastrawan

 Tokoh Agama Dan Sosial

Akademisi Dan Budayawan

Tokoh Media Massa

Posted by Unknown
No comments | 00.56

Indonesia terkenal dengan keragaman adat, budaya, bahasa, seni, agama, dll. Keaneka ragaman itu ditunjang oleh banyaknya suku yang bertebar dari ujung sabang hingga pelosok merauke. Suku tersebut memiliki kebiasaan atau gaya hidup yang berbeda-beda. Salah satun perbedaan tersebut tentang kebiasaan mistis, ilmu hitam, atau kekuatan gaib. 
Ingin tahu suku di indonesia yang paling kuat ilmu hitam atau mistisnya?. Berikut adalah beberapa suku yang ada di indonesia dan terkenal dengan ilmu hitamnya yang kuat yaitu suku dayak (Kalimantan), Suku Asmat (Papua), dan Suku Kajang (Bulukumba).


Dayak
Suku Dayak terkenal dengan ilmu mistis yang cukup kuat. Mistis tersebut sudah menjadi salah satu kekuatan mereka, hal tersebut bisa terdapat pada alat-alat peperangan seperti penyang, mandau, lunju dan sipet. Bahkan untuk memikat lawan jenis mereka bisa menggunakan ilmu mistis, dan pemuka adat suku inilah yang dipercaya mumpuni untuk melakukan hal tersebut.
Sebagai salah satu kekayaan Nusantara, memang dunia supranatural seperti ini tidak dapat dipandang sebelah mata, mungkin kita sering mendengar istilah mandau terbang, minyak buluh perindu dan kemampuan tokoh-tokoh dayak dalam mengisi kekebalan seseorang.

Asmat
Orang Asmat percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan binatang. Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.
Di daerah Sulawesi Selatan, ilmu mistis atau ilmu hitam suku ini sudah sangat terkenal, bahkan telah menjadi ciri khas suku tersebut. Hal pertama yang terbersik dipikiran mereka ketika ditanya soal suku ini adalah "guna-guna".

Mungkin karna image yang terlanjur melekat. Inipun wajar, sebab kepercayaan animisme masih eksis di Tana Toa (Sekalipun agama Muslim mayoritas di Kajang). Karena sudah terkenal tentang ilmu khas Kajang tersebut, sebagian orang akan merasa was-was jika berdekatan atau ditaksir oleh salah satu warga Kajang. Ini issue kuat dan hebat!. Kekuatan mereka memang kuat, bahkan pernah tersiar kabar bahwa mereka bisa melunakkan tengkorak kepala manusia dalam sekejab, selain itu mereka juga kebal akan benda tajam.
Posted by Unknown
No comments | 00.53
PADA zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru.



Penyebab yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek.



"Makanya, tak heran penjajah Belanda bilang, menghadapi prajurit Dayak itu seperti melawan hantu," tutur Pembina Komunitas Tarantang Petak Belanga, Chendana Putra, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (2/6/2011).
Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup lari terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas dengan tembakan, dampak timah panas ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.
Tak sampai lima menit setelah tertancap anak sumpit pada bagian tubuh mana pun, para serdadu Belanda yang awalnya kejang-kajang akan tewas. Bahkan, bisa jadi dalam hitungan detik mereka sudah tak bernyawa. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak dan bukan pada bagian yang penting, peluru tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat beberapa minggu, mereka pun siap berperang kembali.


Penguasaan medan yang dimiliki prajurit Dayak sebagai warga setempat tentu amat mendukung pergerakan mereka di hutan rimba.



"Karena itu, pengaruh penjajahan Belanda di Kalimantan umumnya umumnya hanya terkonsentrasi di kota-kota besar tapi tak menyentuh hingga pedalaman," Chendana.

Tak hanya di medan pertempuran, sumpit tak kalah ampuhnya ketika digunakan untuk berburu. Hewan-hewan besar akan ambruk dalam waktu singkat. Rusa, biawak, atau babi hutan tak akan bisa lari jauh. "Apalagi, tupai, ayam hutan, atau monyet, lebih cepat lagi," katanya.

Bagian tubuh yang terkena anak sumpit hanya perlu dibuang sedikit karena rasanya pahit. Uniknya, hewan tersebut aman jika dimakan. "Mereka yang mengonsumsi daging buruan tak akan sakit atau keracunan," kata Chendana.
Baik hewan maupun manusia, setelah tertancap anak sumpit hanya bisa berlari sambil terkencing-kencing.
"Bukan sekadar istilah, dampak itu memang nyata secara harfiah. Orang atau binatang yang kena anak sumpit, biasanya kejang-kejang sambil mengeluarkan kotoran atau air seni sebelum tewas," tambah Chendana.

Sumber = "Karena itu, pengaruh penjajahan Belanda di Kalimantan umumnya umumnya hanya terkonsentrasi di kota-kota besar tapi tak menyentuh hingga pedalaman," Chendana.

Tak hanya di medan pertempuran, sumpit tak kalah ampuhnya ketika digunakan untuk berburu. Hewan-hewan besar akan ambruk dalam waktu singkat. Rusa, biawak, atau babi hutan tak akan bisa lari jauh. "Apalagi, tupai, ayam hutan, atau monyet, lebih cepat lagi," katanya.

Bagian tubuh yang terkena anak sumpit hanya perlu dibuang sedikit karena rasanya pahit. Uniknya, hewan tersebut aman jika dimakan. "Mereka yang mengonsumsi daging buruan tak akan sakit atau keracunan," kata Chendana.
Baik hewan maupun manusia, setelah tertancap anak sumpit hanya bisa berlari sambil terkencing-kencing.
"Bukan sekadar istilah, dampak itu memang nyata secara harfiah. Orang atau binatang yang kena anak sumpit, biasanya kejang-kejang sambil mengeluarkan kotoran atau air seni sebelum tewas," tambah Chendana.


Sumber : kompas.com/read/2011/06/02/14431016/Sumpit.Dayak.Lebih.Ditakuti.Dari.Peluru

Jumat, 16 Mei 2014

Posted by Unknown
No comments | 09.00
Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia - Suku dayak,adalah suku yang sangat fenomenal yang ada di negara Indonesia,karena terkenal akan kekuatan magisnya, Kata Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat.

Asal Mula Adanya Suku Dayak

Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.

Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

* Upacara Tiwah

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

* Dunia Supranatural

Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).

Posted by Unknown
No comments | 08.56
Berbicara mengenai suku dayak memang tidak ada habisnya untuk dikaji. demikian banyak sumber yang sangat menarik untuk diulas. Seperti sebelumnya kami sempat mengulas tentang panglima burung dari kalimantan, tato suku dayak atau senjata hebatnya yaitu mandau. Sahabat anehdidunia.com bisa search di blog kesayangan kita ini dengan keyword "dayak". Sekarang kita akan membahas hal yang tidak kalah menariknya tentang Mustika Ular Suku Dayak.


Suku Dayak Benuag dan Tunjung meyakini betapa mereka berasal dari leluhur yang dikenal dengan sebutan Tamerikukng — karena keturunannya melakukan suatu kesalahan, akhirnya, mereka pun berubah ujud dan tersebar di beberapa tempat di seantero Pulau Borneo. Dan mereka inilah yang sering disebut sebagai “Roh” atau makhluk halus yang memiliki tugas serta fungsi masing-masing dan mukim di seluruh alam, seperti di langit, bumi, air dan sebagainya.
Walau hidup di alam yang tak kasat mata, namun, mereka memiliki kebutuhan yang sebagian besar sama dengan yang dibutuhkan manusia pada umumnya. Dalam kepercayaan lama inilah, sejatinya, hubungan dua alam yang bersanding dan hanya terpisahkan oleh kabut misteri terjalin dengan erat — dan keadaan itu hanya terasakan oleh manusia yang masih alami, atau manusia yang masih memanusiakan manusia dan masih menghargai alam semesta. Dan tak dapat dipungkiri, pengejawantahan dari sikap menghargai itulah yang dapat membuka tabir dimensi misteri tersebut yang oleh sebagian besar masyarakat Dayak diyakini sebagai Dunia Ilmu Magis.

Masyarakat Dayak meyakini, wujud ketaatan dan kesetiaan mereka terhadap “roh” akan mendapatkan berkah dan imbalan dalam berbagai bentuk. Sebaliknya, ketidaktaatan akan membawa mereka ke jurang kehancuran. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha untuk bisa berkomunikasi dengan “roh-roh” tersebut lewat cara-cara yang seringkali tidak bisa diterima dengan akal sehat.


Menurut pakar kebudayaan Tanah Borneo, Dalmasius Madrah T, pada dasarnya, ilmu magis dibagi menjadi dua bagian; Yakni; Ilmu Magis Panas; ilmu yang dipakai atau dapat mencelakakan orang yang disukai. Contoh dari ilmu ini adalah rasutn dan bongkaaq eqaau yang sangat mematikan. Sedang yang tidak membahayakan namun digolongkan dalam ilmu magis panas adalah ilmu kebal. Sementara, Ilmu Magis Dingin; ilmu yang berfungsi untuk mengantisipasi, menangkal, dan mengobati ilmu magis yang dipasang atau dikirim oleh pihak lawan. Bahkan, bisa juga digunakan untuk pengobatan penyakit madis.

Seperti biasa, bagi seseorang yang berniat mendapatkan ilmu tersebut di atas, maka, ia harus mencari sumber (guru-pen) yang tepat atau yang sesuai dengan keinginannya. Yang paling menarik adalah, walau berbagai kajian ilmiah telah dilakukan dan banyak bukti nyata di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, tetapi, konsep magis yang memang sulit untuk diterima dengan akal sehat itu tetap saja tak bisa terungkap dengan sejelas-jelasnya.

Selain dari mencari sumber (guru), ada pula yang ingin mendapatkan ilmu magis dengan cara “betapa” (bertapa) sebagaimana yang dilakukan oleh leluhur Bung Dani-i-Dani yang mendapatkan warisan berupa batu berbentuk mirip telur yang terlilit oleh seekor ular. Dan sampai sekarang mereka meyakini, inilah yang disebut sebagai mustika ular.

Bermula, ketika itu, daerah Tumbang Samba terserang oleh wabah penyakit yang mematikan. Tak ada yang mereka bisa lakukan di desa yang demikian terpencil itu kecuali hanya berharap dan berdoa — keadaan inilah yang membuat kakek Bung Dani bertekad untuk betapa (bertapa) di Sungai Kahayan untuk mendapatkan pencerahan guna mengatasi penyakit yang kian hari kian merajalela itu.

Pada saatnya, sang kakek pun berendam di Sungai Kahayan. Waktu terus berlalu hingga suatu hari, ia ia ditemui oleh penguasa Sungai Kahayan yang mengaku bernama Datu Amin Kelaru. Dan dari pertemuan dua makhluk yang berbeda alam itulah, ia pun mendapatkan sebuah batu mirip telur yang dililit oleh seekor ular. Singkat kata, dengan daya magis batu tersebut, akhirnya, sang kakek pun berhasil menyembuhkan masyarakat di desanya yang terkena penyakit aneh tersebut.

Meski mustika ular itu didapat dengan jalan betapa (bertapa), tetapi, benda yang oleh suku dayak diyakini memiliki kekuatan atau kesaktian itu pada waktu-waktu tertentu biasa meminta imbalan berupa makanan dan minuman sebagaimana yang kita kenal dengan sebutan sesaji.

Sudah barang tentu, silang pendapat akan hal tersebut di atas selalu terjadi di tengah-tengah masyarakat. Namun, masyarakat suku Dayak melakukan hal tersebut sebagai (meminjam istilah Khanjeng Joko) “tali asih” antara sesama makhluk ciptaan Tuhan. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut kadang berkebalikan. Seharusnya manusia yang diciptakan lebih sempurna ketimbang makhluk lain diptaanNya itu memberi “sesaji” sebagai sedekah bagi mahkluk yang lebi rendah — bukan sebaliknya.

Setelah sang kakek meninggalkan dunia nan fana ini, akhirnya, mustika ular tersebut diwariskan kepada cucunya, Bung Dani-i-Dani. Pemuda inilah yang akhirnya menjadi penerus sang kakek dalam memberikan pelayanan pengobatan baik medis maupun non medis di daerahnya. Tumbang Samba.

Sampai sekarang, tiap malam Jumat, Bung Dani-i-Dani selalu memberikan sesaji berupa bunga 3 atau 7 macam — dan salah satu di antaranya harus bunga melati, serta kopi manis dan kopi pahit masing-masing segelas, sementara, mustika ular itu diletakan di sebuah piring yang sebelumnya telah ditaburi dengan segenggam beras.

Kini, ditangan Dani-i-Dani, mustika ular yang berdaya gaib tinggi itu berhasil dioptimalkan untuk berbagai hal. Selain pengobatan, mustika ular ini berhasil juga mendongkrak nilai guna dalam hal ekonomi. Di antaranya, penglarisan dagang, memperlancar usaha dan keperluan pagar gaib yang dikenal dengan sebutan kamaat (penjaga gaib yang setia). Yang terakhir ini memang dapat diperoleh dengan cara nemaai (diperoleh dengan pembayaran dan tata cara tertentu). Singkat kata, untuk membeli kamaat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah — karena diperlukan kesungguhan, selain harus berhasil meyakinkan si pemilik kamaat agar mau berbagi. Pada dasarnya, kamaat bukan barang dagangan, hanya saja, bagi yang serius ingin mendapatkannya harus mau berbagi.

Demikian sekelumit legenda, tetapi nyata, dan sampai tulisan ini diturunkan masih bisa ditemui di Desa Tumbang Samba.

Blogroll

About